Latar Belakang
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di
Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung
selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di
Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi
perusahaan asing tersebut, namun belum
memberikan manfaat optimal bagi
negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang
emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport
terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya
mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua.
Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga
sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada
kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah
Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan
ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga
menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan
pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan
KK.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg,
kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang
sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan
raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari
eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7
juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang
Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha
dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan
tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana
penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah
menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang
tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang
sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa
rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan
lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah
aliran sungai Ajkwa.
Permasalahan
Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang
didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun,
sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil
pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran
US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak
mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun
berkontribusi sangat besar pada perkembangan perusahaan asing tersebut.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di
Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku
hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang
selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh
orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI
Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi
produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang
diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak
percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh
Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama
lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan
Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak
tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang
penghasilannya hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan
penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran
Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi
Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan
dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport.
Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport
juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti
HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua.
Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang
terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini.
Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan
meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun
pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan
terkesan diabaikan.
Pemiskinan di Papua
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan
finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di
sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk
keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia.
Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia
(sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700
ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas.
Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton
berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan
keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan
penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan
kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami
kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah
kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua,
bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di
Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di
Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport
berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun
2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi
miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada
tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07%
atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi
penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya
tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala
Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data
kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung
pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB
Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya
alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan
pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan
ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati
peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun
Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan
tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah
kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi,
kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi
pertambangan Freeport.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada
ketinggian 4.270 meter, suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang
pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan tahuan di daerah
tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan
tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius.
Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan
Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah
longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian selatan area
tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport. Walhi
merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap
lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg
adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya
curah hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada
tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport.
Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober
2003.
Kronologi Sosial-Ekonomi
Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya
mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga
memantik munculnya masalah sosial. Belum ada solusi yang dianggap
efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu dan sewaktu-waktu
berpotensi untuk meletup. Berikut disampaikan kronologi aspek
sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623.
Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung
tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan
pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah
operasi PT Freeport Indonesia.
23 November 1936.
Ekspedisi Colijn dan Jean Jacquez Dozy dari Belanda, berhasil mencapai Carstenz. Mereka kemudian mengumpulkan contoh batuan.
Tahun 1936.
Geolog Dr. C. Shouten menyimpulkan bahwa kawasan Carstenz mengandung
tembaga dan emas. Sejak itu nama Ertsberg (gunung bijih) dipakai untuk
menyebut kawasan tertinggi di New Guinea itu. Ekspedisi napak tilas
dilakukan pada Juni 1960, dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint–berdasar
laporan Colijn–seiring dengan pemetaan geologi.
Maret 1966.
Soeharto dan pemerintah Orde Baru mulai menggenjot masuknya modal
asing dengan berbagai deregulasi baru. Prof. M. Sadli, Menteri
Pertambangan, mengumumkan pemberian konsesi kepada Freeport Mc Moran di
Irian, dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu meminta
konsesi di kawasan itu.
Juni 1966.
Tim Freeport datang ke Jakarta untuk memprakarsai suatu pembicaraan
untuk mewujudkan kontrak pertambangan di Ertsberg. Orang yang dipilih
sebagai negosiator dan kelak menjadi presiden Freeport Indonesia (FI)
adalah Ali Budiardjo, yakni mantan sekjen Hankam dan direktur Bappenas
tahun 1950-an.
5 April 1967.
Kontrak kerja (KK) I ditandatangani dan membuat Freeport menjadi
perusahaan satu-satunya yang ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg
seluas 10 kilometer persegi. KK I ini lamanya 30 tahun. Kontrak
dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi. Bulan
Desember, eksplorasi Ertsberg dimulai.
Desember 1969.
Studi kelayakan proyek selesai dan disetujui. Mei 1970, konstruksi
keseluruhan proyek mulai dikerjakan. Teknologi rekayasa FCX di remote
area tertinggi di Asia Tenggara ini mengundang decak kagum tersendiri
karena tingkat kesulitannya sangat tinggi.
Desember 1972.
Pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk pertama kalinya ke Jepang.
Maret 1973.
Presiden Soeharto meninjau daerah operasi Freeport dan memberikan nama Tembagapura untuk kota baru Freeport.
Tahun 1974.
Sepanjang 1972 sampai 1973 terjadi beberapa perkelahian yang
mengakibatkan terbunuhnya karyawan Freeport, hingga memaksa mereka
membuat ”January Agreement” dengan warga desa Wa-Amungme untuk membangun
sekolah dan fasilitas umum lainnya.
Juli 1976
Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham
Freeport. Angka ini hingga 1998 bertahan di level 10 persen dan royalti
satu persen.
April 1981.
Ertsberg Timur mulai ditambang dan produksi FI mencapai 16.000 ton per hari sebelum cadangan Grasberg ditemukan.
28 Januari 1988.
Dugaan deposit emas di kawasan Grasberg menunjukkan hasil positif.
Freeport Mc Moran Copper and Gold (FCX) akhirnya go public di lantai
bursa New York. Menurut Yuli Ismartono–pejabat public relations
FI–setiap hari dalam tahun 1988 kira-kira dua juta lembar saham FCX
terjual.
Dengan tambahan cadangan emas di Grasberg dan cadangan lainnya,
jumlah depositnya diperkirakan mencapai jumlah 200 juta ton. Dalam
laporan studi evaluasi lingkungan (SEL) 160 K yang disetujui pada 1994,
total deposit yang ada meningkat hingga dua miliar ton.
30 Desember 1991.
KK I berakhir dan Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun.
Bagi banyak orang, KK II ini berlangsung tidak transparan, bahkan
tertutup. Anehnya, pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya
menyatakan tidak berminat, padahal perusahaan ini jelas-jelas
menguntungkan.
Mulai saat itu, masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie
Grup). ”Kami sudah menawarkan, tapi hanya Bakrie yang datang,” kata
James Moffet, Preskom Freeport berbasa-basi. Preskom. Belakangan masuk
Bob Hasan (Nusamba), yang dikenal sebagai kroni Soeharto, dan Menaker
kabinet Soeharto, Abdul Latief (A Latief Corp.)
22 Agustus – 15 September 1995
Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di
daerah Timika dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas
HAM, mengungkapkan bahwa selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis
pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh dan empat orang
masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat
keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia.
17 Januari 1996
Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph
Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J.
Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas
tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya.
29 April 1966
Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa)
terdaftar di pengadilan Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus
no.96-1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan menyatakan
Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
29 Juni 1996
Lemasa menolak dana sebesar 1 persen keuntungan Freeport (US$ 15
juta) yang rencananya diberikan kepada suku di daerah operasi Freeport.
Penolakan juga datang dari gereja setempat.
30 September 1997
Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, melalui Bapedal,
selesai memeriksa dan menyetujui laporan Amdal Regional untuk perluasan
kegiatan penambangan dan peningkatan kapasitas produksi Freeport hingga
300.000 ton per hari.
Tetapi Walhi yang ikut dalam komisi itu menyatakan tidak setuju :
“Atmosfer pertemuan itu kental dengan bau politis, sementara banyak
anggota komisi sebenarnya tidak setuju dengan perluasan itu, tapi tak
kuasa menolak,” kata Emmy Hafid, Direktur Walhi.
11 Maret 1998
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam pemandangan umumnya pada
Sidang Umum MPR 1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan
antara Freeport dan pemerintah Indonesia adalah salah satu kontrak yang
sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.
5 November 1998
Direktur PT Freeport Indonesia, Jim “bob” Moffett datang ke Kejaksaan
Agung (Kejagung) untuk menjelaskan dugaan KKN di Freeport, termasuk
perpanjangan KK II yang tertutup dan diduga sarat KKN. “Tidak ada KKN di
Freeport, dan tidak adil kalau Anda menyuruh saya juga mengurusi
masalah pembagian keuntungan. Saya bukan orang pemerintahan,“ kata Jim
Moffet dalam jumpa persnya seusai menghadap Kejagung.
Tahun 2002
Keterlibatan salah seorang prajurit TNI dalam kasus penyerangan bus karyawan Freeport di Timika
September 2008
Freeport menciutkan target produksi tembaga dan emas tahun 2008 ini
lantaran ada gangguan teknis di lokasi penambangan Grasberg, Papua.
Awalnya, Freeport mematok produksi tembaga 1,2 miliar pounds dan emas
1,3 juta ounce. Karena gangguan ini, produksi dibuat lebih mini, tembaga
1,1 miliar pounds dan emas 1,1 juta ounc.
11 Desember 2008
Freeport memecat 75 karyawan, Freeport melakukan efisiensi dari sisi
jumlah karyawan untuk mengurangi sedikit biaya operasional perusahaan,
sebagai imbas dari resesi ekonomi dunia.
27 Juli 2009
Dua Karyawan Freeport menjadi tersangka kasus penembakan. Polisi
menetapkan tujuh tersangka terkait kasus penembakan di Freeport, Timika,
Provinsi Papua. Dua dari tujuh tersangka tersebut merupakan karyawan
Freeport. (bersambung)
foto ilustrasi: welkis.wordpress
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955.
Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode
2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan
Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash
University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003
dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui
wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan
berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Sejarah Kelam Tambang Freeport
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar