Mengapa Masalah Gizi Buruk Balita masih Ada di Bali?

Image









MENGAPA masalah gizi buruk balita masih ada di Bali? Sistem sudah terbangun, anggaran sudah ada, namun timbul penilaian, di tingkat operasional penanganannya belum lintas sektoral dalam bingkai keterpaduan. Juga, tidak berkesinambungan antara kebijakan dan program pemerintah daerah lama dan pemerintah daerah yang menggantikannya. Masalah gizi buruk balita merupakan masalah komprehensif. Pola operasional lintas sektoral berbasis desa binaan perlu dihidupkan.

Demikian salah satu pandangan yang  mengristal dari diskusi komprehensif bertopik “Masalah Gizi dan Tantangannya di Bali”. Diskusi diselenggarakan Koran Tokoh bekerjasama dengan Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kemenkes Denpasar, Selasa (22/2).

Menurut laporan dari instansi kesehatan kabupaten/kota di Bali, kasus gizi buruk balita masih ada. “Sistem sudah terbangun dari pusat hingga ke desa, anggaran sudah ada, tetapi kita tak menyangka masih muncul masalah gizi di daerah ini,” ujar Prof. Dr. dr. A.A. Gde Muninjaya, M.P.H.
Guru besar FK Unud ini mensinyalir, dalam menangani masalah gizi buruk balita, kita kurang menangani masalah yang menjadi penyebab timbulnya penyakit. Ia menyebut salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit adalah masalah lingkungan yang tidak bersih dan tidak sehat.
Berkenaan dengan penyebab munculnya penyakit ini, ia menunjuk kasus yang terjadi di Desa Pengotan, Kintamani, yang berjarak hanya 17 km dari jantung ibu kota Kabupaten Bangli. Ibu tidak dapat memberi minuman air susu ibu  kepada bayinya secara penuh, karena bekerja seharian di ladang. Bekerja di ladang merupakan satu-satunya pekerjaan yang bisa menghidupi keluarganya sehingga tidak mungkin ditinggalkan. Nenek yang mengasuh bayinya di rumah, tanpa bekal pengetahuan tentang ilmu gizi, terkait makanan atau minuman maupun cara  menyajikannya. Selain itu memang tidak tersedia minuman yang bergizi untuk si bayi; paling banter air putih. “Beragam masalah yang ada di lapangan yang memerlukan penanganan secara bersama-sama,” katanya.
Masalah gizi buruk balita tetap ada di Bali, juga terkait kebijakan. Dosen  Universitas Hindu Indonesia Ida Bagus Putra mengungkapkan sering terjadi tiadanya komunikasi berkesinambungan antara kebijakan pemerintah daerah sekarang dan pemerintah-pemerintah daerah sebelumnya. Padahal pemerintah daerah sebelumnya sudah memiliki kebijakan dan program yang perlu dilanjutkan. Pergantian pimpinan diikuti pergantian kebijakan dengan mencari-cari program baru. Kapan programnya mencapai sasaran? “Sebaliknya, jika ada program terbukti tidak efektif, mengapa tidak diganti program baru,” ujarnya.

Managing director Manu Waluya Public Health Service Mercya Soesanto menyatakan, masalah gizi balita bisa ditangani, jika ada kerja sama lintas sektoral antara pemerintah dan pebisnis atau swasta.
“Saya setuju media massa membuat berita ‘geger’ jika ada kasus gizi buruk balita. Ini menunjukkan ada yang gagal dalam pembangunan. Penanganannya perlu multisekoral,” ujar Hertog Nursanyoto, S.K.M, ketua  DPD Persatuan Ahli Gizi (Persagi) Bali.
Mengingat masalah gizi balita merupakan masalah komprehensif, kata Widminarko, kebijakan dan program penanggulangannya harus sinergis. Pemimpin Redaksi Koran Tokoh itu menyatakan sinergi bukan hanya di tingkat sistem, tetapi juga di tingkat operasional termasuk sinergi dalam penyediaan anggaran. “Akan lebih optimal hasilnya jika anggaran masing-masing kabupaten/kota dan dinas digunakan secara sinergis,” katanya.

Sinergi lainnya harus dibangun antara pemerintah daerah dan pihak nonpemerintah, termasuk masyarakat dan pihak asing. Masyarakat pun harus bergerak misalnya dalam turut menanganai masalah-masalah penyebab timbulnya penyakit seperti masalah kebersihan lingkungan. “Buat gerakan masyarakat untuk tidak membeli garam yang tak beryodium,” katanya.
Uluran tangan yayasan asing yang peduli terhadap  masalah gizi buruk balita juga harus diterima, bahkan dicari mengingat keterbatasan yang ada di pemerintah daerah. Sinergi ketiga,  berupa sinergi antarprogram. Di Bali pernah dikembangkan program terpadu KB (keluarga berencana)-Gizi. “Mengapa kita tidak mengembangkan kebijakan dan program pemerintah daerah lama yang terbukti berhasil?” tanya Widminarko yang kemudian dijawab sendiri, hal itu disebabkan lemahnya dokumentasi pemerintah daerah, dan kurangnya gemar membaca dokumentasi yang ada di kalangan birokrat. Ia sependapat, komunikasi antara pejabat pemerintah daerah lama dan pejabat yang menggantikannya sering tidak berkesinambungan.
Masalah kurangnya gemar membaca itu juga diakui Prof. Muninjaya. “Sudah banyak penelitian dilakukan, sudah banyak hasil penelitian dipublikasikan, tetapi tidak dibaca para pembuat kebijakan, apalagi dicoba untuk diterapkan,” katanya.
Kegiatan lintas sektoral yang sinergis itu, menurut Widminarko, ujung tombaknya adalah dibangkitkannya kembali pola desa binaan. Keberhasilan desa binaan kemudian digetoktularkan ke desa-desa lain.
Sebagaimana diungkapkan Ida Ayu Made  Sri Arjani, S.I.P., M.Erg., Pembantu Direktur III Poltekkes kemenkes Denpasar juga telah menerapkan pola desa binaan. Sekarang di Sidakarya dan akan dikembangkan di Bangli.

Dosen Poltekkes Ir. I Made Purnadhibrata, M.Kes membenarkan di Bali sejak tahun 1979 pernah diterapkan pola Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang bekerja sama dengan Badan Perbaikan Gizi Daerah (BPGD) Provinsi Bali. Program dan dana penanggulangan masalah gizi secara terpadu diarahkan ke desa-desa binaan. “Tetapi, itu dulu. Sekarang tidak ada UPGK,” ujarnya. —ast, tin

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

CLOCK

YM

Info Bisnis