Dulu Pengumpul Medali, Kini Pencari Kepiting

imageKisah sedih dan memilukan masih saja menimpa atlet berprestasi di Tanah Air.  Di saat pemerintah berusaha menggenjot pencapaian tertinggi di bidang olahraga, namun masa depan mereka tak jelas, seperti yang dialami atlet dayung, Jumain. 
DI Kampung Tawangaglik Lor RT 01/RW 06 Kelurahan Tawangmas Semarang, seorang laki-laki bertubuh gempal, keluar dari rumah berukuran 6 x 10 meter. Sambil menggendong anak kecil berusia tiga tahun, lelaki itu memperkenalkan diri. Namanya Jumain, lahir di kampung itu 5 Agustus 1956.
Jumain lalu bercerita bahwa ia baru bangun tidur, setelah semalaman kelelahan mencari ikan dan kepiting di sepanjang muara Sungai Banjirkanal Barat hingga Pantai Marina.
’’Ini lagi sepi karena air sedang surut. Kalau pas rob, saya bisa dapat tiga atau empat kilogram kepiting dan rajungan. Kali ini sampai lepas subuh tadi cuma dapat empat ekor. Mungkin satu kilogram saja,’’ katanya.

 Ia lalu meneruskan cerita mengingat waktu mudanya, sejak usia 10 tahun sudah mencari ikan dan kepiting setiap hari. Bangku sekolah tak pernah dirasakannya, sehingga ia tidak bisa membaca dan menulis. Namun, sejak bertemu dengan  Jatmono seorang anggota Lantamal (dahulu Lanal) Semarang, dia bersemangat karena dilatih dayung.
’’Saya tak tahu kalau beliau adalah pelatih olahraga dayung. Saya lalu diajak berlatih, dibeayai untuk ikut lomba,’’ kenang Jumain.
Ketekunannya berlatih mulai membuahkan hasil. Ia menyabet medali emas dalam kejurda se-Jateng mewakili Kota Semarang dalam kelas kano nomor 800 m dan 1.500 m,  PON XIII tahun 1985 dia meraih perunggu. Setelah itu lolos seleksi nasional sehingga mengikuti SEA Games XV di Kuala Lumpur 1989. Di event itu, untuk  kali pertama dia langsung mendapat emas di nomor perahu naga 800 dan 1.500 meter. ’’Rasanya seperti mimpi. Apalagi saat dapat emas, langsung bisa ketemu dan salaman dengan Pak Harto dan Pak Akbar Tanjung (Menpora saat itu - Red),’’ kata Jumain.
Hanya Kebanggaan
Sejak menjadi atlet nasional spesialisasi kano dan perahu naga (dragon boat), ia tak mengalami perubahan nasib cukup berarti. Ia tak mendapat gaji seperti atlet saat ini. Bahkan, pendapatan yang dikantongi dibandingkan saat menjadi nelayan malah lebih sedikit. Saat itu, Jumain hanya mendapat uang saku antara Rp 50 ribu - Rp 100 ribu tiap minggunya. Namun ada satu yang ia dapat, kebanggaan. Kebanggaan dan kesempatan bepergian ke banyak tempat yang sebelumnya tak pernah dikunjungi.
Naik pesawat, adalah salah satu kebanggaan yang teman-temannya di kampung merupakan kesempatan langka. Itu pula yang menginspirasi beberapa pemuda kampungnya mengikuti jejaknya sebagai atlet dayung.
Sambil mengikat kepiting yang didapat, ia mengeluh bahwa selama ini tak pernah ada sedikitpun perhatian dari pemerintah. Memang pernah mendapat tawaran bekerja sebagai pegawai di Pemkot Semarang sebagai tenaga harian lepas. Namun Jumain mengaku tak sanggup, karena bekerja sebagai kernet truk sampah.
’’Saya memang biasa kerja susah, tapi kalau sebagai kernet truk sampah dengan penghasilan Rp 127.500 sebulan di tahun 1996, saya jelas gak mampu menghidupi istri saya,’’ katanya.
Dan sebuah pilihan pun dijatuhkan. Jumain menghabiskan sisa usianya dengan mencari kepiting. Tak lagi berani berharap pemerintah akan memberi insentif secara teratur sebagai orang yang pernah membawa nama baik Indonesia, bahkan  di dunia internasional.
Kejuaraan terakhir yang ia ikuti adalah Kejurnas Dayung di Waduk Gajahmungkur Wonogiri tahun 2001. Saat itu ia sukses masuk putaran final, namun perahunya terbalik, sehingga gagal mendapat medali. Dan setelah perahunya terbalik itu, Jumain lalu gantung kayuh, dan kembali mencari kepiting lagi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

CLOCK

YM

Info Bisnis